Game Online Dinilai Dapat Picu Kekerasan, KPAI Tolak Rancangan Peraturan Menkominfo
Jakarta - Munculnya rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) tentang klasifikasi permainan interaktif dinilai justru melegalisasi perilaku kekerasan sejak usia dini. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Indonesia Child Online Protection (ID COP) menolak adanya rancangan peraturan tersebut.
"Game online mestinya bisa mengikuti prinsip-prinsip yang sesuai bagi anak. Kategori anak-anak itu sendiri dari 0 sampai 18 tahun, tidak bisa dipisah-pisahkan seperti itu. Usia anak adalah usia meniru, pada saat yang sama mereka punya kecenderungan bermain, maka kita harus berikan mainan yang edukatif," ujar Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di Kantor KPAI pada Kamis (29/10/2015).
Peraturan klasifikasi permainan interaktif Menkominfo tersebut dinilai justru mendorong perkembangan game yang mengandung unsur kekerasan hingga berpotensi ditiru oleh anak di dunia nyata.
Asrorun mengatakan, rancangan peraturan menteri tersebut tidak memenuhi unsur yang dimaksud dalam UU Perlindungan Anak. Salah satunya disebutkan dalam rancangan peraturan Menkominfo Pasal 4, yakni permainan interaktif elektronik diklasifikasikan berdasarkan kategori konten dan kelompok usia pengguna. Sementara dalam Pasal 5 disebutkan kategori konten tersebut meliputi rokok, minuman keras, narkoba, kekerasan, darah, seksual, dan sebagainya.
Pada peraturan tersebut, klasifikasi permainan anak justru diatur dari rentang usia anak-anak yang dibagi menjadi 2-6 tahun, 7-12 tahun, 13-16 tahun, dan 17 tahun ke atas yang mana dari setiap kategori usia itulah diatur kekerasan mana yang boleh ditampilkan atau tidak.
Menurut Asrorun, klasifikasi dan penentuan kategori game tersebut mesti bebas dari unsur-unsur negatif dan disesuaikan dengan usia anak. Ia berpendapat bahwa pemerintah seharusnya bisa mendorong ketersediaan layanan game seiring partisipasi anak untuk bermain yang mendidik dan menyenangkan. Selain itu, pemerintah mestinya bisa mencegah pengaruh game yang berisi kekerasan maupun pemaksaan. "Bisa jadi tidak ada kekerasan, tetapi lucu-lucuan yang eksploitatif, seperti bias gender, sektarian, tentu ini tidak bisa dibenarkan," tuturnya.
Yamin, Executive Director dari Nawala, layanan penyaring konten negatif di internet, menjelaskan bahwa orangtua juga mesti mendampingi anak saat bermain game. Namun kenyataannya orang tua dengan mudahnya memberikan gadget sebagai sarana bermain anak. "Gadget diberikan pada anak karena orang tua tidak bisa mendampingi. Jadi sebagai bentuk kompensasi ketidakhadiran orangtua pada anak," ucapnya.
Menurut Yamin, orang tua tidak bisa disalahkan jika memang belum siap melakukan pendampingan pada anaknya. Selain orang tua, pemerintah mestinya juga mengatur penyelenggara game online sebagai penyedia jasa permainan anak agar menciptakan game yang memiliki sudut pandang perlindungan anak. "Lihat saja game Angry Bird, kelihatannya fun, tetapi mengandung unsur kekerasan karena ada lempar bomnya. Permainan harusnya yang bersifat problem solving, mengasah otak, dan sesuai dengan usia anak," urainya.
Sumber
"Game online mestinya bisa mengikuti prinsip-prinsip yang sesuai bagi anak. Kategori anak-anak itu sendiri dari 0 sampai 18 tahun, tidak bisa dipisah-pisahkan seperti itu. Usia anak adalah usia meniru, pada saat yang sama mereka punya kecenderungan bermain, maka kita harus berikan mainan yang edukatif," ujar Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di Kantor KPAI pada Kamis (29/10/2015).
Peraturan klasifikasi permainan interaktif Menkominfo tersebut dinilai justru mendorong perkembangan game yang mengandung unsur kekerasan hingga berpotensi ditiru oleh anak di dunia nyata.
Asrorun mengatakan, rancangan peraturan menteri tersebut tidak memenuhi unsur yang dimaksud dalam UU Perlindungan Anak. Salah satunya disebutkan dalam rancangan peraturan Menkominfo Pasal 4, yakni permainan interaktif elektronik diklasifikasikan berdasarkan kategori konten dan kelompok usia pengguna. Sementara dalam Pasal 5 disebutkan kategori konten tersebut meliputi rokok, minuman keras, narkoba, kekerasan, darah, seksual, dan sebagainya.
Pada peraturan tersebut, klasifikasi permainan anak justru diatur dari rentang usia anak-anak yang dibagi menjadi 2-6 tahun, 7-12 tahun, 13-16 tahun, dan 17 tahun ke atas yang mana dari setiap kategori usia itulah diatur kekerasan mana yang boleh ditampilkan atau tidak.
Menurut Asrorun, klasifikasi dan penentuan kategori game tersebut mesti bebas dari unsur-unsur negatif dan disesuaikan dengan usia anak. Ia berpendapat bahwa pemerintah seharusnya bisa mendorong ketersediaan layanan game seiring partisipasi anak untuk bermain yang mendidik dan menyenangkan. Selain itu, pemerintah mestinya bisa mencegah pengaruh game yang berisi kekerasan maupun pemaksaan. "Bisa jadi tidak ada kekerasan, tetapi lucu-lucuan yang eksploitatif, seperti bias gender, sektarian, tentu ini tidak bisa dibenarkan," tuturnya.
Yamin, Executive Director dari Nawala, layanan penyaring konten negatif di internet, menjelaskan bahwa orangtua juga mesti mendampingi anak saat bermain game. Namun kenyataannya orang tua dengan mudahnya memberikan gadget sebagai sarana bermain anak. "Gadget diberikan pada anak karena orang tua tidak bisa mendampingi. Jadi sebagai bentuk kompensasi ketidakhadiran orangtua pada anak," ucapnya.
Menurut Yamin, orang tua tidak bisa disalahkan jika memang belum siap melakukan pendampingan pada anaknya. Selain orang tua, pemerintah mestinya juga mengatur penyelenggara game online sebagai penyedia jasa permainan anak agar menciptakan game yang memiliki sudut pandang perlindungan anak. "Lihat saja game Angry Bird, kelihatannya fun, tetapi mengandung unsur kekerasan karena ada lempar bomnya. Permainan harusnya yang bersifat problem solving, mengasah otak, dan sesuai dengan usia anak," urainya.
Sumber
Posting Komentar untuk "Game Online Dinilai Dapat Picu Kekerasan, KPAI Tolak Rancangan Peraturan Menkominfo"
Siaran pers, kerja sama, pemasangan iklan dll, dikirim ke email: redaksi[at]radarempoa.com